11 November 2025

Adik aktivis buruh Marsinah, Wijiyati memandang foto kakaknya usai mengikuti prosesi upacara pemberian gelar pahlawan kepada Marsinah dan sembilan tokoh lainnya di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/nz/am.

Jakarta (Industrial News) – Presiden Prabowo Subianto pada peringatan Hari Pahlawan, Senin (10/11), di Istana Negara Jakarta, resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah, sosok aktivis buruh yang dikenal berani memperjuangkan hak-hak pekerja.

Dilansir dari Antara, Marsinah dipandang sebagai simbol keberanian kaum buruh dalam menuntut keadilan. Pada era Orde Baru, para pekerja kerap menghadapi ketimpangan sosial dan perlakuan yang menekan, sehingga perjuangan Marsinah menjadi bukti nyata perlawanan terhadap ketidakadilan tersebut.

Penganugerahan ini ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025, yang menyebutkan terdapat 10 tokoh yang mendapatkan gelar Pahlawan Nasional tahun ini. Pengakuan tersebut merupakan bentuk penghormatan kepada mereka yang telah berkontribusi besar dalam memperjuangkan hak-hak rakyat, khususnya kalangan pekerja.

Lantas, seperti apa sosok Marsinah yang kini diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo? Berikut profil singkatnya, dirangkum dari beragam sumber terpercaya.

Profil Marsinah

Latar Belakang dan Pendidikan

Marsinah dikenal sebagai perempuan berjiwa tangguh, lahir pada 10 April 1969 di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Nganjuk, Jawa Timur. Sejak kecil ia tumbuh dalam keluarga sederhana dan dibesarkan oleh nenek serta bibi-nya. Meski hidup pas-pasan, ia dikenal gigih dan tidak mudah menyerah.

Ia merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, putri pasangan Mastin dan Sumini. Untuk membantu perekonomian keluarga, masa kecilnya banyak dihabiskan dengan berjualan makanan ringan. Sikap mandiri dan pekerja keras sudah terlihat sejak usia belia.

Pendidikan dasar ditempuhnya di SD Negeri Karangasem 189, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 5 Nganjuk. Setelah itu ia sempat belajar di Pondok Pesantren Muhammadiyah. Namun, mimpi untuk melanjutkan kuliah harus terhenti karena keterbatasan biaya yang dihadapi keluarganya.

Merantau dan Mulai Bekerja

Usai menamatkan pendidikan, Marsinah memutuskan merantau ke Surabaya pada tahun 1989. Dengan tekad kuat, ia tinggal di rumah kakaknya, Marsini, sembari mencari pekerjaan. Setelah mengirim lamaran ke berbagai perusahaan, ia sempat bekerja di pabrik plastik SKW di kawasan industri Rungkut.

Tahun berikutnya, 1990, ia diterima bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah pabrik jam tangan yang berlokasi di Porong. Di tempat inilah kesadaran Marsinah mengenai hak-hak buruh mulai tumbuh kuat. Ia melihat langsung ketidakadilan yang dialami rekan-rekan pekerja.

Perjuangan Menuntut Keadilan

Pada tahun 1993, Gubernur Jawa Timur saat itu, Soelarso, menerbitkan Surat Edaran No. 50/Th.1992 tentang kenaikan upah buruh sebesar 20 persen. Namun pihak PT CPS enggan menjalankan kebijakan tersebut. Hal ini memicu kekecewaan buruh dan kemudian memunculkan aksi protes.

Tanggal 3–4 Mei 1993, Marsinah bersama 12 pekerja lainnya berada di garis depan aksi mogok kerja. Mereka menuntut kenaikan upah dan meminta agar SPSI di tingkat pabrik dibubarkan karena dinilai tidak memperjuangkan kepentingan buruh. Aksi itu sempat membuahkan hasil; 11 dari 12 tuntutan mereka disetujui manajemen.

Namun situasi berubah drastis ketika keesokan harinya, 13 pekerja dipanggil ke Kodim Sidoarjo dan dipaksa menandatangani surat pengunduran diri. Mengetahui hal itu, Marsinah berusaha mencari keadilan dengan mendatangi Kodim untuk meminta salinan surat tersebut, berharap nasib rekannya dapat diperjelas.

Penemuan Jenazah Marsinah

Usai memperjuangkan nasib rekan-rekannya, Marsinah justru menghilang. Pada 8 Mei 1993, kabar mengejutkan tersebar, yakni ia ditemukan tewas di sebuah gubuk di Desa Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk. Tubuhnya penuh luka dan bekas penyiksaan, menyiratkan kekerasan yang sangat kejam.

Kasus ini mengguncang publik Indonesia dan menjadi simbol kerasnya represi terhadap pekerja pada masa Orde Baru. Investigasi berlangsung panjang, namun fakta tentang pelaku dan motif sebenarnya tak pernah benar-benar terungkap.

Disematkan Gelar Pahlawan Nasional

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah menegaskan bahwa perjuangannya tidak sia-sia. Ia dikenang sebagai sosok yang berani bersuara demi hak-hak buruh serta menolak tunduk pada ketidakadilan di dunia kerja.

Meski misteri pembunuhannya belum terpecahkan hingga kini, peristiwa tragis tersebut menjadi catatan penting dalam sejarah pelanggaran HAM di Indonesia. Nama Marsinah terus hidup sebagai inspirasi bagi para pekerja untuk memperjuangkan martabat dan hak mereka. [*]