Presiden RI Prabowo Subianto kembali menaiki kereta cepat Whoosh menuju Stasiun Halim, Jakarta, dari Stasiun Padalarang, Bandung Barat, Kamis (7/8/2025). (ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden)
Jakarta (Industrial News) – Pengamat BUMN sekaligus Managing Director Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Toto Pranoto menilai pengambilalihan beban “Whoosh” dari PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) oleh pemerintah merupakan langkah yang tepat dan rasional.
Ia mengatakan, skema ini akan menempatkan PT Kereta Api Indonesia (KAI) hanya sebagai operator layanan kereta api, sementara tanggung jawab atas pembangunan dan kepemilikan prasarana berada di tangan negara.
“Saya kira sudah benar kalau akhirnya pemerintah mengambil alih beban infrastruktur dari KCIC. Jadi, KAI bertindak sebagai operator kereta api. Ini sudah sesuai Undang-Undang (UU) Kereta Api Nomor 23 Tahun 2007,” ujar Toto sebagaimana keterangan resmi di Jakarta, seperti dilansir dari Antara.
Adapun, UU Nomor 23 Tahun 2007 mencakup tentang Perkeretaapian yang secara tegas memisahkan peran penyelenggara infrastruktur dan operator.
Dengan pengaturan itu, menurut Toto, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat dimanfaatkan sebagai Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN atau lembaga baru yang ditunjuk khusus sebagai penyelenggara infrastruktur perkeretaapian, termasuk kereta cepat.
“Kehadiran entitas ini memungkinkan pembiayaan infrastruktur dilakukan secara lebih terstruktur dan berkelanjutan, tanpa membebani operator maupun BUMN lain yang selama ini tertekan oleh besarnya biaya konstruksi,” ujar Toto.
Dalam jangka panjang, Toto menyebut lembaga penyelenggara infrastruktur tersebut juga memiliki sumber pendapatan yang jelas, yaitu dari tariff access charge yang dibebankan kepada operator kereta api yang menggunakan prasarana.
“Jadi, uang APBN bisa dipakai sebagai modal BUMN atau lembaga baru yang ditunjuk sebagai penyelenggara infrastruktur kereta api. Dalam jangka panjang, entitas ini bisa memperoleh pendapatan dari tariff access charge yang dibebankan kepada operator,” ujar Toto.
Menurutnya, skema tersebut lazim diterapkan dalam pengelolaan perkeretaapian modern, karena menciptakan kepastian pendapatan bagi pengelola infrastruktur sekaligus menjaga kelayakan bisnis operator.
Melalui pola ini, lanjutnya, sebagian biaya pembangunan prasarana “Whoosh” yang selama ini menjadi tanggungan kontraktor karya berpeluang mulai dibayar secara bertahap.
“Dengan pola ini, sebagian biaya infrastruktur pembangunan prasarana Whoosh yang ditanggung oleh kontraktor karya kemungkinan mulai bisa dibayar,” ujar Toto.
Di sisi lain, di antara perusahaan-perusahaan BUMN yang terlibat dalam proyek kereta cepat, posisi PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) dinilai yang paling rumit dan rentan.
WIKA memegang dua peran sekaligus, di antaranya sebagai investor di PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), sekaligus sebagai satu-satunya kontraktor lokal dalam Konsorsium Kereta Cepat atau High Speed Railway Contractor Consortium (HSRCC) bersama enam kontraktor asal China.
Sebagai investor, WIKA menanamkan modal sekitar Rp6,1 triliun, yang saat ini berbalik menjadi kerugian yang membebani kinerja keuangan perseroan.
Kerugian operasional kereta cepat yang terus terjadi sejak dua tahun terakhir, secara otomatis tercermin dalam laporan keuangan WIKA setiap kuartalan dan akhir tahun.
Memasuki tahun 2025, tekanan terhadap WIKA semakin berat seiring pemangkasan anggaran infrastruktur pemerintah yang berdampak terhadap penurunan volume proyek dan pendapatan perseroan.
Kondisi itu diperburuk oleh kenaikan beban bunga utang yang jatuh tempo pada September 2024, dan kembali meningkat pada September 2025 di tengah kondisi keuangan perseroan yang tengah melemah.
Tekanan arus kas dan kewajiban bunga yang membesar, membuat ruang manuver keuangan WIKA semakin terbatas.
Dalam konteks tersebut, opsi restrukturisasi lanjutan melalui Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO) dan Rapat Umum Pemegang Sukuk (RUPSU), termasuk penyesuaian nilai kupon, dinilai menjadi langkah paling ideal untuk menjaga kesehatan keuangan perseroan.
Direktur PT Reliance Sekuritas Indonesia Tbk (RELI) Reza Priyambada mengatakan WIKA saat ini memang menghadapi persoalan yang pelik, terutama terkait kewajiban penyelesaian utang di tengah tuntutan penyelesaian proyek-proyek infrastruktur yang telah masuk ke dalam pipeline perusahaan.
“Adanya restrukturisasi keuangan tentu diperlukan agar ke depan masalah tersebut tidak semakin memberatkan kondisi keuangan WIKA, sembari perseroan mencari peluang perolehan kontrak proyek-proyek baru,” ujar Reza.
Reza menekankan, bahwa rencana aksi korporasi tersebut, perlu disampaikan secara terbuka melalui forum RUPO maupun RUPS, agar pemegang saham dan obligasi mengetahui arah kebijakan WIKA dalam mengatasi persoalan keuangan yang dihadapi.
“Untuk menjalankan aksi korporasinya tersebut WIKA perlu untuk menyampaikannya dalam RUPO maupun RUPS, sehingga para pemegang saham maupun obligasi dapat mengetahui rencana WIKA ke depan untuk mengatasi problem keuangan yang sedang mereka hadapi,” ujar Reza.
Reza optimistis manajemen WIKA akan mencari solusi terbaik dan menunjukkan komitmen untuk memperbaiki kinerja keuangan dan operasional perseroan, sehingga menghasilkan win-win solution bagi perusahaan maupun seluruh pemangku kepentingan.
“Tentunya manajemen WIKA akan mencari solusi terbaik dan komitmennya untuk memperbaiki keuangan dan operasional mereka sehingga menjadi win win solution baik dari sisi WIKA nya maupun para pemangku kepentingan,” ujar Reza. [*]